welcome :D

Selasa, 02 September 2008

Balada Si Oranye

Aku punya dendam pribadi sama benda ini:




Ini semua berawal ketika suatu pagi yang cerah di hari Kamis, aku datang telat ke sekolah untuk pertama kalinya. Kuulang sekali lagi. Hari itu aku datang telat untuk pertama kalinya sejak hampir tiga tahun aku bersekolah di Smansa. Padahal dalam kamus hidupku nggak ada istilah ‘datang-telat-ke-sekolah’. Benar-benar mencoreng rekor pribadi yang aku jaga dari awal kelas X.

Trus hubungannya apa sama benda oranye-jelek-dekil-berbentuk kerucut di atas?
Kalo nggak gara” benda itu, mungkin saat ini aku masih megang rekor pribadi ‘ga-pernah-telat’. Mungkin, semua yang terjadi di hari Kamis pagi yang naas dulu tidak akan terjadi padaku. Semua; termasuk hukuman mungut sampah yang dilanjutkan dengan hukuman berdiri di lapangan selama hampir 20 menit, ejekan dari temen sekelas, ceramah singkat dari guru piket, dan rasa nggak enak hati sama Laila karena membuatnya ikut terlambat (hari itu Laila nebeng aku); tidak akan terjadi pada Kamis itu.

Okeh. Ceritanya, Kamis itu aku pergi ke sekolah seperti biasa. Setengah tujuh dari rumah. Banyak waktu yang tersisa untuk berleha-leha di kelas sebelum bel masuk berbunyi jika aku ngebut dan nyalip kiri-kanan. Dan tetap masih ada cukup waktu yang tersisa walaupun aku tidak ngebut dan nyalip kiri-kanan, karena idealnya aku hanya membutuhkan 10-15 menit untuk pergi ke sekolah. Tetapi, hari itu aku membutuhkan lebih dari 30 menit untuk mencapai sekolah, karena hari itu bapak-bapak dari Polantas Pontianak punya inovasi baru untuk Jalan Ayani.

Hari itu, Jalan Ayani (yang dinobatkan sebagai Kawasan Tertib Lalu-Lintas) mulai dipisahkan menjadi 2 jalur, yaitu jalur kanan (untuk kendaraan roda 4) dan jalur kiri (untuk kendaraan roda 2). Bapak-bapak dari Polantas pastilah membuat peraturan ini demi kelancaran jalan Ayani, tetapi sialnya malah membuat jalan Ayani makin ruwet. Yah, wajar sih sebenernya. Namanya juga program yang baru jalan sehari. Tapi tetep aja bikin dongkol. Gara-gara pemisahan jalur ini, dibenakku mulai tertanam rasa benci sama benda oranye-jelek-dekil-berbentuk kerucut itu.

Well, aku bahkan nggak tau istilah yang dipake buat nyebut benda oranye-jelek-dekil-berbentuk kerucut itu. Temenku ada yang menyebutnya kerucut, cone, oren-oren (karena warnanya oranye alias oren), dan ada juga yang hanya menyebutnya batas jalur kiri. Terserah deh mo nyebut paan, tapi demi keselarasan, di blog ini kita sebut saja kecutren alias kerucut-oren.

Kecutren, seperti yang kita tahu, adalah benda dari plastik berwarna oranye terang berbentuk kerucut. Dalam inovasi baru Polantas Pontianak, kecutren digunakan sebagai batas lajur kiri. Kecutren ini diletakkan kira-kira setiap 5 meter, dengan jeda yang biasa digunakan oleh pengendara liar (termasuk aku) sebagai ajang nyalip karena di dalam jalur kiri susah banget buat nyalip motor lain.

Sebetulnya nggak ada yang salah dari kecutren ini sampai” aku harus membencinya, cuman rasanya bete aja bawa motor di jalur yang sempit, mesti dempet-dempetan ama pengendara motor lainnya. Kenyataan bahwa yang membatasi aku membawa motor dengan kebebasan nyalip seperti dulu kala hanyalah beberapa buah kecutren, semakin menambah rasa benciku terhadap kecutren.

Sejak tragedi terlambat, aku jadi pengen banget nendang kecutren setiap ngeliat benda itu berdiri tegar di jalan. Tapi, setelah dipikir-pikir, ada beberapa penyebab aku batal nendang jatuh si kecutren, seperti:

a. Takut dicela pengguna jalan yang lain. Pelajar (apalagi pelajar cewek yang terlihat seperti anak baik-baik) yang menendang kecutren akan mengundang banyak komentar miring, seperti anggapan bahwa pelajar sekarang tergolong radikal.

b. Kecutren yang jatuh menggelimpang di jalan dapat menyebabkan kecelakaan. Mungkin saja ada motor ato sepeda yang nyungsep karena nyundul kecutren jatuh.

c. Takut di-busted ama polisi. Akhir-akhir ini polisi sering nilang pengendara motor yang ngendarain motornya di jalur kanan, jadi tidak menutup kemungkinan bahwa polisi juga akan menilang pengguna jalan yang menjatuhkan kecutren dengan sengaja.

d. Kombinasi dari ketiga opsi.

Atas dasar pemikiran itulah aku mengurungkan niat untuk menendang jatuh kecutren. Sampai, pada suatu hari, impianku terwujud.

Aku bisa nendang jatuh kecutren.

Dan secara tidak sengaja.

Benar-benar tidak disengaja.

Seperti biasa aku berangkat ke sekolah dengan menggunakan Shoggy, motor bebek kesayanganku. Karena hari itu aku pergi bareng ama Laila, aku berangkat agak pagian. Seperti biasa aku melewati Jalan Ayani. Bapak-bapak Polantas udah pada siap di tempat. Kecutren juga sudah bertengger manis di jalan, terlihat sangat garang dengan warna orennya yang gemilang. Berhubung rumah Laila yang terletak di Jalan Parit H. Husin 1 terletak di sebelah kanan Jalan Ayani, aku mesti belok ke jalan beda arus lewat belokan yang bentuk huruf ‘U’ (kalo di barat namanya ‘U turn’), dan untuk mencapai belokan tersebut, aku mesti keluar dari jalur kiri. Saat aku udah siap” mo belok, aku baru menyadari suatu hal. Orang Polantas punya inovasi baru lagi.
Belokannya ditutup.

Ya oloh. Padahal hanya aku satu-satunya pengendara motor yang ngelanggar jalur dan bawa motor gila”an ke arah belokan. Daripada ditilang gara” keluar jalur, aku memutuskan untuk bermanuver dan nyalip ga karuan diantara mobil” untuk kembali ke jalur kiri. Di saat” genting itu, aku memilih timing yang salah untuk nyelip masuk ke jalur kiri.

aku : (berbelok tajam untuk menghindari sebuah mobil, masih berada di jalur kanan)

kecutren: (masih berdiri tegar)

aku : (mulai bergerak ke arah jalur kiri)

mobil sedan ga tau punya sapa : (gerak dengan kecepatan super lelet tepat didepanku)

aku : (nyalip, langsung berkendara zigzag ke jalur kiri)

*braakk*

kecutren: (jatoh tergeletak gitu aja)

aku : (ngibrit)

What a fool. Setelah diklakson oleh dua mobil sekaligus dan diliatin oleh hampir semua pengendara di sekitar TKP, aku akhirnya bisa tersenyum bahagia.

Balas dendam itu nikmat, Bung!

Sabtu, 09 Agustus 2008

Driving Lesson

Pernahkah ada seseorang yang bilang kalo nyetir mobil itu gampang? Jangan percaya sodara-sodara! Bagi yang baru belajar, nyetir mobil itu sesusah makan baso pake sumpit sambil kayang. Yah, ga sesusah itu sih, tapi tetep aja susah. Susah-susah gampang gitu deh. Mungkin tergantung bakat juga kali ya. Berhubung bakat aku hanya ngeberantakin kamar, jadilah aku menganggap nyetir mobil itu punya kesulitan tersendiri.


Gimana cerita aku bisa nyetir mobil (sementara gaya-nyetir-motorku aja bisa bikin ibu" beranak di tempat)? Yah, mengingat liburan kemaren aku bener” ga ada kerjaan, bener” cuma membodo alias stay-fool-at-home, akhirnya aku memilih mengisi liburan dengan kegiatan yang cukup jenius, yaitu ngabisin duit ortu dengan ikut driving lesson!


Ceritanya, aku dan my best pal, Laila, emang udah ngebet pengen bisa nyopir mobil dari dulu banget. Entah mengapa, dulu kita nganggep nyopir mobil itu suatu kegiatan yang keren. Cool aja rasanya, duduk megang setir, mindah gigi pake tuas persneling (maklum masi bocah). Sebenernya dari dulu uda kepikiran ikut driving lesson, cuman karena pengen sekalian bikin SIM-nya, akhirnya kita nunggu mpe cukup umur dulu. Jadi deh, liburan ini (kita berdua uda 17 taun) kita berkutat abis-abisan dengan yang namanya mobil latian.


Hari pertama latian berjalan cukup lancar. Aku, yang notabene belum pernah sama sekali nyetir mobil, cukup mendapatkan apresiasi tinggi dari si instruktur. Komennya: mantab. Jalan demi jalan di area GOR alias gelanggang olahraga yang sepi dengan mulus aku lewatin. Kok bisa? Apa mungkin karena aku emang punya bakat jadi supir truk? Atau supir oplet? Jawabannya (tentu saja) tidak. Setelah terjadi something bad ga lama aku megang mobil untuk pertama kalinya, dengan penuh keyakinan aku berkata: itu hanya keberuntungan pemula.


Ceritanya, karena lahan latian mobil bakal dipake buat trek balap, sang instruktur memutuskan untuk latian ke jalan gede, yang mana berarti BENCANA! Gila ajah, baru juga megang mobil kira" 5 menitan, aku uda disuruh ngendarain di jalan yang bisa dikatakan cukup rame untuk membuatku nyaris histeria.


Dengan bismilah dan segelas air putih penuh jampi", aku mulai ngendarain mobil sesuai instruksi dari sang istruktur. Ga lama, bencana mulai dateng.


Jeng-jeng-jeng-jeng.


Belokan pertama. Ke Ayani, jalan protokol paling lebar di Pontianak.


Aku (A) : Bang, bang. Gimana beloknya nih? Ayani rame banget..


Abang Instruktur (AI) : Tenang ajah, Dek. Belok pelan" aja. Ingat, jangan panik ya.


A : (uda panik dari jaman jepang) Ungg. Oke deh. (siap" belok)


Mobil Keparat (MK) : (mati tiba" tepat di belokan Ayani)


A : Huaaaa!!! (mulai histeris) Gimana ne, Bang?


AI : Tenang, nyalain lagi mobilnya. Jangan panik ya, Dek.


A : Okeh. (ngeraba, nyari kunci)


A : (tereak tiba”) Abaanggg!! Kuncinya ga ada!! (histeris beneran)


AI : (nyari" kunci deket tuas persneling) Tenang, Dek. Jangan panik. Nih, kunci. (ngasi kunci)


MK : (uda mati kira” 40 detik tepat di belokan)


A : (nyalain mobil sambil menahan hasrat ingin menimpuk si abang)


Akhirnya, setelah detik” penuh histeria yang hiperbolis, tu mobil bisa nyala lagi. Parah abis.


Bencana kembali terulang. Kira” pas hari ke-3 latian, abang instruktur memutuskan kalo aku dan Laila udah cukup pandai untuk masuk ke tahap selanjutnya, belajar parkir mundur. Kalo jalan maju aja udah susah, jalan mundur itu BENAR-BENAR susah. Abang Instruktur selalu (dan tidak pernah lupa) mengingatkan untuk memperhatikan pantat dan moncong mobil. Entah bohay ato asoy deh tu pantat mpe si abang betah memandangnya. Setelah beberapa kali hampir menggilas pilar batas latian, akhirnya level kita beranjak, dari yang ‘duh-aku-beneran-ga-bisa-mundurin-mobil-sama-sekali’ ke level ‘yah-setidaknya-aku-bisa-mundurin-mobil-tanpa-bikin-lecet-sebesar-jam-gadang’. Kita emang jenius.


pantat mobil latian yang entah mengapa selalu diungkit" pas latian.


Sayangnya, kejeniusan kita ga cukup untuk ngehindar dari yang namanya ‘bencana’. Lagi” bencana memilih untuk tidak berhenti ngerecokin kita. Pas giliran aku belajar nyetir, aku membuat satu kesalahan fatal. Bener” fatal. Aku nabrak. Nabrak. Nabrak beneran mpe orang yang ketabrak mental dari motornya dan kesungkur di jalan. Ceritanya, pas aku mo belok kiri di pertigaan depan Primagama, ada motor dari arah kanan yang ngebut ke arah yang sama dengan arah beloknya mobil latian. Karena aku masi ga lancar belok dan mobil latian makan lebih dari setengah badan jalan, tu motor ga bisa ngehindar. Nabrak deh. Yah, technically bukan aku yang nabrak sih. Tu orang yang nyundul moncong si mobil. Tapi karena aku yang secara ga sopan menempatkan mobil latian ditengah” jalan, dengan penuh kerendahan hati, aku ngaku kalo aku yang nabrak.


Benar" riot deh pas abis tabrakan. Yang ditabrak tereak, abang instruktur nyebut", Laila ikut tereak sambil nutup muka, plus jalanan macet. Aku? Jangan ditanya. Aku cuma bisa diem kayak orang imbisil. Huhu. Bahkan si abang ga ngebolehin aku minta maaf ke orang yang ketabrak. Takut jadi bahan amukan massa kali ya?


FYI only, yang namanya mobil latian, adalah mobil kijang jadul (tentunya tanpa power steering), dengan rem dan kopling ganda. Rem dan kopling kedua yang ada di depan kursi penumpang depan ini digunain oleh instruktur untuk ngejaga mobil biar kagak kenapa". Tapi pada kenyataannya, rem dan kopling ganda ini menjadi tidak berguna saat tragedi tersundul (sekali lagi dengan sopan aku ngingetin kalo sebenarnya bukan aku yang nabrak) motor. Jelas faktor human error lah yang mendominasi penyebab disfungsionalnya rem dan kopling ganda tadi.


Eniwei, seenggaknya aku jadi lebih berani nyetir mobil setelah 'tragedi tersundul' itu. Entah mengapa, aku nggak trauma dengan yang namanya nyetir. Malah si Abang yang berkali-kali mengingatkan untuk tidak trauma, yang mana sepertinya nasehat tersebut lebih cocok ditujukan kepada pengguna jalan di Pontianak agar tidak mengalami kejadian yang sama seperti orang yang menyundul aku.


Pesan moral : Kalo mo berani bawa mobil, tabrakkan saja mobil anda ke apapun yang ada di sekitar mobil anda.





*Note : Buat ibu" yang merasa dirinya seorang guru, tinggal di seberang, memiliki anak perempuan masi smp, berkerudung dan merasa pernah tertabrak mobil latian warna ijo, MOHON MAAF sebesar"nya. Orang yang mudah memaafkan adalah orang yang gampang mendapat jodoh.


/marimenggila/



Rabu, 25 Juni 2008

Liburan, Oh Liburan...

“..Libur tlah tiba, libur tlah tiba, hatikuu gembiraa..” (Tasya-Libur T’lah Tiba)

Masi inget ga ma lagunya Tasya di atas? Biasanya, ni lagu sering diputer pas jaman” kita liburan. Ntah kenapa, sekarang aku dongkol banget kalo inget ma lagu itu. Dongkol abis. Bukan cuma dongkol sama lagu itu aja sih, tepatnya pada semua hal yang berbau liburan. Majalah yang penuh tips” liburan, orang” yang ngomongin tentang liburan mereka, mpe travel” agent juga. Kenapa? Hanya satu alasan kenapa aku sedongkol itu sama kata ‘liburan’. Sederhana aja alasannya. Semua itu, karena aku ga bisa liburan.

Semua berawal ketika smansa memasuki masa classmeeting. Masa dimana kita ga perlu belajar dan bawa buku pelajaran. Masa dimana kelas beralih fungsi menjadi lapangan bultang dadakan. Masa dimana kita boleh datang jam berapapun ke sekolah. Dan tentunya, masa dimana aura liburan anak” mulai menguar. Semua orang pada ngomongin liburan. Ovie, dengan Bandung-nya. Fidya, juga dengan Bandung-nya. Ridho, dengan Bali-nya. Ipa 2, dengan Outbound Sungai Rengas-nya. Semua, dengan liburan-nya. Karena demam ‘liburan’ ini, aku-Febi-Desy-Arta pun ga mau kalah. Kita juga ngerencanain liburan. Dua rencana, bahkan. Backpacking keliling Pontianak dan ke Pemangkat. Kota kecil yang punya gunung, pantai dan ‘air terjun’ sekaligus.

Semua rencana terlihat begitu mulus, apik dan wajar. Sampai akhirnya rencana kita ke Pemangkat batal. Ternyata keluarga Arta yang di Pemangkat mau liburan ke Pontianak. Doohh..

Muncul ide lain. Traveling berdua sama mami ke Jogja. Girl’s Holiday gitu. Pas aku ajuin proposalnya ke ortu, mami manggut” setuju. Papi? Geleng” ga setuju.

Aku ga patah arang. Abis ngomong” ma Laila ma Erda, dapet rencana baru. Liburan ke Natuna. Kepulauan yang ada di barat laut-nya Kalbar. Sounds great. Tapiii, seperti yang udah”, rencana batal. Meity, temen sekelasnya Laila, bilang kalo di Natuna tuh masi kuat budaya mistisnya. Kita kan remaja” SMA penuh gejolak. Masi sering gila”an ga jelas. Takutnya tar kalo disana kita bikin hal dan tau” kita pulang dengan anggota tubuh ga lengkap karena hasil santetan penduduk sana kan berabe. Well, bener ngganya gosip mistis itu aku ga tau deh. Kalo ada orang Natuna yang baca, jelasin dong!

Okeh. Aku mulai despret. Tapi dasar emang ngebet, ga lama Laila nawarin rencana liburan lagi. Ke Jogja. Bareng Rifki-Najmie-Shendi-Erda. Pulang-pergi pake kapal. Murah meriah. Plus bonus (kalo jadi) bakal diajak om nya Najmie nyebrang ke Bali. Abis”nya paling cuma 1,5 jt. Aku uda seneng banget. Rencana oke, biaya oke. Sampe rumah aku langsung minta persetujuan ortu.

Mami : Tanya buapakmu sana. Berdoa ajah deh. Moga” boleh.
Aku : (mulai pesimis)

Malemnya..
Papi : (diem)
Aku : (tambah pesimis) Boleh ga?

Esoknya..
Aku : Jadii..?
Papi : Kamu belajar mobil aja sana. Taun depan aja liburannya.
Aku : (tereak dalem hati) arrggggggghhhhhhhhhh!!!!!!!!!

(sigh)

Dosa apa aku mpe liburan aja ga bisa? Huhu. Please God, gimme vacation!

“..Libur tlah tiba, libur tlah tiba. Hatikuu gelisahh..” (Tasya-Libur T’lah Tiba, dengan penyesuaian)

Note: Febi ngajak ke Singkawang. Batal lagi ga yaa? :p


/life’shard/

Senin, 23 Juni 2008

Pertama!

Well.
Postingan pertama.
Apa yang orang-orang bicarakan pada posting pertama mereka?

Okeh. Sesuai tradisi, sesuatu yang pertama butuh perkenalan. Dan karena ini posting pertama, artinya aku musti ngenalin diri. Perkenalkan, namaku Astri. A-S-T-R-I. Dengan T sebagai huruf ketiga yang tidak boleh dihilangkan. Suka baca. Gila buku.

Mulai sekarang, aku bakal nulis di space ini.

Tolong kasi komen ya. Onegai.
Satu komen anda menyelamatkan satu keinginanku untuk eksis di kancah per-blog-an.

/peaceout/